Resensi Buku Kumpulan Cerpen
Penulis : Adhitya Mulya, dkk.
Editor : Kinanti Atmarandy
Penerbit : Gagas Media, Jakarta
Cetakan : II, 2010
Tebal : vi + 176 halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
Harga : Rp30.000,00
Setiap orang memiliki cinta dan setiap hubungan akan
menjadi indah bila didasari cinta. Konsep tersebut pulalah yang melatarbelakangi “Empat Musim Cinta”. Hal tersebut ditunjukkan secara gamblang
lewat judul buku yang sengaja tidak
diambil dari salah satu cerpen di dalamnya
dan juga sampulnya yang bernuansa pink. Buku kumpulan cerpen
ini menyatukan berbagai gaya penulisan sejenis dengan keunikan khas remaja yang berbeda-beda dari
delapan penulis.
Kedelapan penulis ini memang sudah tak
diragukan lagi kepiawaiannya dalam menulis cerita remaja
sehingga penyatuan mereka akan
menciptakan sebuah karya
yang menyentuh, dinamis
dan tentunya, ringan. “Empat Musim Cinta”–lah buktinya.
“Empat Musim Cinta” memang bertemakan cinta, namun tidak serta-merta hanya
menceritakan cinta di antara
pasangan kekasih.
Sesuai dengan judulnya, buku ini memang memiliki empat
‘musim’ cinta. ‘Musim’ pertama merupakan cerita cinta dalam hubungan berpacaran.
Kedua, menceritakan hubungan kasih di dalam persahabatan. Ketiga, berkaitan
dengan keluarga dan ‘musim’ keempat berkisah tentang dengan cinta Yang Maha Esa.
Beberapa cerita juga meleburkan beberapa musim menjadi satu,
misalnya cerpen berjudul Jalan Takdir
yang mengisahkan hubungan antara ayah dengan putrinya dan putrinya dengan pria
yang diam-diam mencintainya. Cerpen lainnya
seperti Uji Setia juga menggabungkan dua ‘musim’, yakni persahabatan
dan pacaran.
Cerpen mengenai hubungan
cinta secara vertikal, antara Tuhan dengan manusia, hanya dapat ditemukan dalam
kisah terakhir yang menggenapkan adanya 4 ‘musim’ di dalam buku ini. Judulnya, Menjemput Mempelai. Cerpen ini menceritakan
Magi, seorang wanita tunasusila yang hidupnya sudah begitu hancur dan terbuang
hingga pada akhirnya hanya Yesus yang mau dan mampu menerimanya.
Cerita diawali
dengan penggambaran tentang Magi yang penyakitan dan tidak berdaya lalu diusir
oleh ibu kost-nya. Setelah diusir,
Magi pergi ke rumah sakit dengan penuh kesakitan untuk meredakan syphilis-nya yang sudah parah. Tidak
segera diobati, Magi justru ditagih atas utang-utangnya. Obat yang diberikan
pun hanyalah suntikan vitamin C karena ketidakmampuan Magi untuk membayar.
Beranjak dari rumah sakit, Magi pun menuju sebuah gereja tua. Sesampainya di
gereja, Magi yang ingin bertemu pastur hanya bisa bertemu dengan seorang koster setelah menunggu selama satu jam.
Sang koster yang melihat keadaan Magi
dan mengetahui Magi yang adalah pelacur, segera membuatnya jijik dan mengunci
pintu gereja.
Cerita mengenai
penolakan-penolakan yang Magi terima disertai dengan penggambaran penderitaan
Magi secara detail dan penggunaan latar yang sangat mendukung, sukses membuat
hati pembaca terenyuh. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat penggalan paragraf yang
berhasil membuat pembacanya merasakan perihnya borok yang ‘terpanggang’ berikut
ini.
Matahari masih bersinar gagah tepat di atas kepala. Magi
berjalan tanpa alas kaki. Aspal yang terpanggang oleh terik mentari tak lagi
terasa panasnya oleh kakinya. Hanya satu yang ia rasakan, sakit borok-borok di
tubuhnya. Kali ini kakinya membawanya menuju gereja.
Kisah diakhiri
dengan menyerahnya Magi atas hidupnya. Di tengah keadaan dirinya yang telah
kehilangan asa, Magi yang terbiasa bertemu dengan laki-laki binal bertemu kembali
dengan seorang laki-laki yang sepertinya pernah ia kenal. Laki-lagi tersebut
digambarkan berlaku seperti laki-laki lainnya, mendekati Magi, menciumnya lalu
membuka kutangnya. Tetapi Magi merasakan perasaan yang berbeda dan penuh dengan
kedamaian. Saat Magi bertanya siapa namanya, segalanya menjadi terjawab. Berikut
ini penggalan akhir cerita Menjemput
Mempelai.
“Siapakah namamu?” Magi bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Kamu melucu.”
Magi menciumi sekujur tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia
terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh lelaki itu. Di lambung kiri. Di
dua telapak tangan. Di dua telapak kaki.
Cerpen Menjemput Mempelai begitu menyentuh
dengan akhir cerita yang tidak diduga-duga. Dari lima belas cerpen sebelumnya
yang selalu menceritakan hubungan antar-sesama, tiba-tiba cerita terakhir
justru berkisah tentang cinta Tuhan kepada manusia dan baru diketahui lewat
kalimat terakhir cerita tersebut. Diawali dengan cerpen yang membuat tertawa
dan diakhiri dengan cerpen yang membuat hati meratap. Hal ini benar-benar
menimbulkan kesan mendalam terhadap “Empat Musim
Cinta”.
Kisah tak terduga
lainnya juga ada dalam cerpen karya Andi Fauziah Yahya yang berjudul Sepasang Kupu-Kupu. Bila pembaca Menjemput Mempelai dibuat kaget di akhir
cerita, pembaca Sepasang Kupu-Kupu akan
dibuat kebingungan di tengah cerita. Penggambaran tokoh yang baru mulai jelas
saat di tengah, saat alur flashback
dimulai, membuat pembaca kaget bahwa pasangan kekasih yang diceritakan merupakan
adik-kakak kandung. Alurnya yang berbeda dari lima belas cerpen beralur maju
lainnya disertai dengan ide cerita yang berani membuat cerpen ini juga menarik.
Hanya saja, proses pengembalian dari masa lalu ke masa sekarang kurang
dilakukan dengan mulus sehingga menimbulkan sedikit kebingungan kepada pembaca.
Cerpen Scene 40 Yang Bermasalah juga tak
terduga. Bukan karena begitu
menyentuh atau pun kisahnya yang berani, melainkan karena keberadaannya. Dari
sebagian besar cerpen yang bercerita tentang hubungan kasih-mengasihi dalam
berbagai konteks, cerpen ini justru bercerita tentang pocong yang berprofesi
sebagai artis. Cerpen karya Adhitya Mulya ini mengisahkan pocong yang tidak
dapat bekerja sama dengan sang sutradara hingga akhirnya tidak sengaja
benar-benar membunuh lawan mainnya saat melakukan adegan pembunuhan. Cerpen ini
lebih merupakan kritik terhadap dunia perfilman di Indonesia yang penuh dengan
film horor, bukan tentang cinta. Meski demikian, cerpen ini begitu menghibur
bahkan hingga membuat pembaca tidak kuasa menahan tawa. Lucu tak tertahankan.
Keberadaannya yang mungkin tepat pun tidak perlu lagi dijadikan soal.
Selain itu, kisah-kisah dalam buku ini yang memang
ditujukan untuk remaja membuat sebagian besar tokoh-tokohnya tergambarkan masih
dalam rentang usia remaja (SMA hingga kuliah). Watak yang digambarkannya pun
disesuaikan dengan watak remaja sebenarnya yang sering kali idealis,
mengutamakan keinginannya sendiri, dan penuh dengan emosi. Alhasil, perasaan
pembaca pun dapat menyatu dengan cerita. Pembaca dibuat seolah-olah masuk ke
dalam cerpen-cerpen yang ada, misalnya dalam cerpen Uji Setia, Sepotong Senja,
dan Pernah Jadi Aku.
Sepintas setelah
menutup buku ini, kita mungkin akan terkesan berkat kisah terakhir yang begitu
menyentuh. Sayangnya, bila memikirkan lebih mendalam setiap cerita dalam buku
ini, beberapa cerita terbilang standar dan mudah terlupakan. Misalnya cerpen Dia, Aku, dan Kamu yang hanya
menceritakan Reynata yang setia dengan suaminya di tengah banyak kenalannya
yang selingkuh. Tidak lebih.
Enam belas cerita
yang ditulis delapan pengarang berbeda memang membuat buku kumpulan cerpen ini
sangat dinamis dan menarik. Setiap cerpen yang memiliki permasalahannya sendiri
serta didukung dengan bahasanya yang ringan membuat buku ini tidak membosankan.
Sayangnya, adanya beberapa kisah yang yang terlalu sederhana menimbulkan kesan ill feel dan rasa kecewa terhadap buku
ini. Bagi pembaca yang mengharapkan kisah-kisah yang bisa merefleksikan hidup
secara mendalam, maka buku kumpulan cerpen ini belum bisa memenuhinya. Namun, buku
ini dapat menjawab kerinduan para pembaca untuk terhibur dan terhindar dari
kebosanan dengan sempurna. Sangat pas untuk mengisi waktu luang yang ada. Ada break, baca “Empat Musim Cinta”!