Selasa, 04 Oktober 2011

Musim Keempat yang Menyentuh

Resensi Buku Kumpulan Cerpen

Judul buku : Empat Musim Cinta

Penulis : Adhitya Mulya, dkk.

Editor : Kinanti Atmarandy

Penerbit : Gagas Media, Jakarta

Cetakan : II, 2010

Tebal : vi + 176 halaman

Ukuran : 13 x 19 cm

Harga : Rp30.000,00

Setiap orang memiliki cinta dan setiap hubungan akan menjadi indah bila didasari cinta. Konsep tersebut pulalah yang melatarbelakangi Empat Musim Cinta. Hal tersebut ditunjukkan secara gamblang lewat judul buku yang sengaja tidak diambil dari salah satu cerpen di dalamnya dan juga sampulnya yang bernuansa pink. Buku kumpulan cerpen ini menyatukan berbagai gaya penulisan sejenis dengan keunikan khas remaja yang berbeda-beda dari delapan penulis. Kedelapan penulis ini memang sudah tak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menulis cerita remaja sehingga penyatuan mereka akan menciptakan sebuah karya yang menyentuh, dinamis dan tentunya, ringan. Empat Musim Cinta–lah buktinya.

Empat Musim Cinta” memang bertemakan cinta, namun tidak serta-merta hanya menceritakan cinta di antara pasangan kekasih. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang memiliki empat ‘musim’ cinta. ‘Musim’ pertama merupakan cerita cinta dalam hubungan berpacaran. Kedua, menceritakan hubungan kasih di dalam persahabatan. Ketiga, berkaitan dengan keluarga dan ‘musim’ keempat berkisah tentang dengan cinta Yang Maha Esa. Beberapa cerita juga meleburkan beberapa musim menjadi satu, misalnya cerpen berjudul Jalan Takdir yang mengisahkan hubungan antara ayah dengan putrinya dan putrinya dengan pria yang diam-diam mencintainya. Cerpen lainnya seperti Uji Setia juga menggabungkan dua ‘musim’, yakni persahabatan dan pacaran.

Cerpen mengenai hubungan cinta secara vertikal, antara Tuhan dengan manusia, hanya dapat ditemukan dalam kisah terakhir yang menggenapkan adanya 4 ‘musim’ di dalam buku ini. Judulnya, Menjemput Mempelai. Cerpen ini menceritakan Magi, seorang wanita tunasusila yang hidupnya sudah begitu hancur dan terbuang hingga pada akhirnya hanya Yesus yang mau dan mampu menerimanya.

Cerita diawali dengan penggambaran tentang Magi yang penyakitan dan tidak berdaya lalu diusir oleh ibu kost-nya. Setelah diusir, Magi pergi ke rumah sakit dengan penuh kesakitan untuk meredakan syphilis-nya yang sudah parah. Tidak segera diobati, Magi justru ditagih atas utang-utangnya. Obat yang diberikan pun hanyalah suntikan vitamin C karena ketidakmampuan Magi untuk membayar. Beranjak dari rumah sakit, Magi pun menuju sebuah gereja tua. Sesampainya di gereja, Magi yang ingin bertemu pastur hanya bisa bertemu dengan seorang koster setelah menunggu selama satu jam. Sang koster yang melihat keadaan Magi dan mengetahui Magi yang adalah pelacur, segera membuatnya jijik dan mengunci pintu gereja.

Cerita mengenai penolakan-penolakan yang Magi terima disertai dengan penggambaran penderitaan Magi secara detail dan penggunaan latar yang sangat mendukung, sukses membuat hati pembaca terenyuh. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat penggalan paragraf yang berhasil membuat pembacanya merasakan perihnya borok yang ‘terpanggang’ berikut ini.

Matahari masih bersinar gagah tepat di atas kepala. Magi berjalan tanpa alas kaki. Aspal yang terpanggang oleh terik mentari tak lagi terasa panasnya oleh kakinya. Hanya satu yang ia rasakan, sakit borok-borok di tubuhnya. Kali ini kakinya membawanya menuju gereja.

Kisah diakhiri dengan menyerahnya Magi atas hidupnya. Di tengah keadaan dirinya yang telah kehilangan asa, Magi yang terbiasa bertemu dengan laki-laki binal bertemu kembali dengan seorang laki-laki yang sepertinya pernah ia kenal. Laki-lagi tersebut digambarkan berlaku seperti laki-laki lainnya, mendekati Magi, menciumnya lalu membuka kutangnya. Tetapi Magi merasakan perasaan yang berbeda dan penuh dengan kedamaian. Saat Magi bertanya siapa namanya, segalanya menjadi terjawab. Berikut ini penggalan akhir cerita Menjemput Mempelai.

“Siapakah namamu?” Magi bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Kamu melucu.”
Magi menciumi sekujur tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh lelaki itu. Di lambung kiri. Di dua telapak tangan. Di dua telapak kaki.

Cerpen Menjemput Mempelai begitu menyentuh dengan akhir cerita yang tidak diduga-duga. Dari lima belas cerpen sebelumnya yang selalu menceritakan hubungan antar-sesama, tiba-tiba cerita terakhir justru berkisah tentang cinta Tuhan kepada manusia dan baru diketahui lewat kalimat terakhir cerita tersebut. Diawali dengan cerpen yang membuat tertawa dan diakhiri dengan cerpen yang membuat hati meratap. Hal ini benar-benar menimbulkan kesan mendalam terhadap “Empat Musim Cinta”.

Kisah tak terduga lainnya juga ada dalam cerpen karya Andi Fauziah Yahya yang berjudul Sepasang Kupu-Kupu. Bila pembaca Menjemput Mempelai dibuat kaget di akhir cerita, pembaca Sepasang Kupu-Kupu akan dibuat kebingungan di tengah cerita. Penggambaran tokoh yang baru mulai jelas saat di tengah, saat alur flashback dimulai, membuat pembaca kaget bahwa pasangan kekasih yang diceritakan merupakan adik-kakak kandung. Alurnya yang berbeda dari lima belas cerpen beralur maju lainnya disertai dengan ide cerita yang berani membuat cerpen ini juga menarik. Hanya saja, proses pengembalian dari masa lalu ke masa sekarang kurang dilakukan dengan mulus sehingga menimbulkan sedikit kebingungan kepada pembaca.

Cerpen Scene 40 Yang Bermasalah juga tak terduga. Bukan karena begitu menyentuh atau pun kisahnya yang berani, melainkan karena keberadaannya. Dari sebagian besar cerpen yang bercerita tentang hubungan kasih-mengasihi dalam berbagai konteks, cerpen ini justru bercerita tentang pocong yang berprofesi sebagai artis. Cerpen karya Adhitya Mulya ini mengisahkan pocong yang tidak dapat bekerja sama dengan sang sutradara hingga akhirnya tidak sengaja benar-benar membunuh lawan mainnya saat melakukan adegan pembunuhan. Cerpen ini lebih merupakan kritik terhadap dunia perfilman di Indonesia yang penuh dengan film horor, bukan tentang cinta. Meski demikian, cerpen ini begitu menghibur bahkan hingga membuat pembaca tidak kuasa menahan tawa. Lucu tak tertahankan. Keberadaannya yang mungkin tepat pun tidak perlu lagi dijadikan soal.

Selain itu, kisah-kisah dalam buku ini yang memang ditujukan untuk remaja membuat sebagian besar tokoh-tokohnya tergambarkan masih dalam rentang usia remaja (SMA hingga kuliah). Watak yang digambarkannya pun disesuaikan dengan watak remaja sebenarnya yang sering kali idealis, mengutamakan keinginannya sendiri, dan penuh dengan emosi. Alhasil, perasaan pembaca pun dapat menyatu dengan cerita. Pembaca dibuat seolah-olah masuk ke dalam cerpen-cerpen yang ada, misalnya dalam cerpen Uji Setia, Sepotong Senja, dan Pernah Jadi Aku.

Sepintas setelah menutup buku ini, kita mungkin akan terkesan berkat kisah terakhir yang begitu menyentuh. Sayangnya, bila memikirkan lebih mendalam setiap cerita dalam buku ini, beberapa cerita terbilang standar dan mudah terlupakan. Misalnya cerpen Dia, Aku, dan Kamu yang hanya menceritakan Reynata yang setia dengan suaminya di tengah banyak kenalannya yang selingkuh. Tidak lebih.

Enam belas cerita yang ditulis delapan pengarang berbeda memang membuat buku kumpulan cerpen ini sangat dinamis dan menarik. Setiap cerpen yang memiliki permasalahannya sendiri serta didukung dengan bahasanya yang ringan membuat buku ini tidak membosankan. Sayangnya, adanya beberapa kisah yang yang terlalu sederhana menimbulkan kesan ill feel dan rasa kecewa terhadap buku ini. Bagi pembaca yang mengharapkan kisah-kisah yang bisa merefleksikan hidup secara mendalam, maka buku kumpulan cerpen ini belum bisa memenuhinya. Namun, buku ini dapat menjawab kerinduan para pembaca untuk terhibur dan terhindar dari kebosanan dengan sempurna. Sangat pas untuk mengisi waktu luang yang ada. Ada break, baca “Empat Musim Cinta”!

Jumat, 12 Agustus 2011

Lima Belas

15:15

Aku diam terduduk. Ku pertahankan posisiku, tanganku kulipat untuk menahan tundukkan kepalaku di atas meja. Aku berusaha mencari keheningan yang jelas tak akan ditemukan oleh siapa pun. Setidaknya untuk saat ini.

Pagi hari.

Semangat membara. Jiwa berkobar dan terbakar oleh semangat yang tak pernah mati. Tak ada keraguan sedikit pun dalam benak atau pun hati. Lembar demi lembar sudah ku baca, ku kerjakan ulang berulang-ulang, dan ku hafal mati. Sebenarnya inilah sebab dari segalanya.

Pelajaran demi pelajaran ku lewati sambil mencuri beberapa kesempatan untuk mengingatkan diri kembali akan setiap soal yang telah aku pelajari. Untungnya, hal ini sudah biasa ku lakukan sehingga tak seorang guru pun yang menyadari apa yang ku pelajari bukanlah yang sedang ia coba terangkan untuk diriku.

Siang hari.

Jam terakhir tiba. Guru masuk, murid tidak duduk tapi berdiri. Sibuk meminta kertas ulangan. Lagu lama, lama sekali. Seketika semua siap dan sudah ber-ku. Guru membagikan soal berurutan dari yang paling terlihat siap dan percaya diri, paling tertata mejanya, dan terdiam. Aku yang pertama.

Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan jantung yang berdenyut hingga terasa detaknya. Ku buka mataku, mulai membalik kertas soal yang diletakkan berlawanan arah. Aku membaca setiap soal perlahan sambil memancing otak memikirkan langkah pertama jawabannya. Hingga selesai membaca soal ke-9, otakku masih beku. Kalau bisa, aku ingin memanaskannya hingga encer. Selesai sudah.

Sore hari.

Waktu pengerjaan 80 menit membuat segalanya selesai pada pukul 15.15. Hingga waktu menunjukkan angka kembar, yang konon kita sedang dirindukan, tak sesoal pun merindukan untuk dijawab olehku. Semua mulai membahas jawaban setiap soal, 'memastikan' apakah jawaban mereka benar. Aku tidak suka bagian ini. Bagian di mana aku duduk diam dan semuanya sebenarnya sedang memaksakan pembenaran atas dirinya.

Aku sadar akan satu kesalahan yang mengacaukan segalanya. Aku menghafalnya sampai mati.

Aku tak dapat menghitung satu nomor pun. Nilai lima belas yang ku dapat tak' lebih dari sebuah belas kasihan.

Kamis, 14 Juli 2011

No Ordinary Story

Kapankah seseorang merasakan getaran pada mulutnya untuk berbicara? Mungkin ketika seseorang mengalami stroke. Mungkin juga ketika seseorang hendak menyatakan sesuatu yang batin tidak ingin mengatakannya. Sesuatu yang berat. Sesuatu yang kalau bisa dipendam saja. Sesuatu yang dapat melukai perasaan pasangan. Sesuatu yang menjelaskan berakhirnya suatu hubungan.


Lima hari, sepuluh jam dan lima-belas menit yang lalu aku tiba di sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagiku. Masuk perumahan, belok kiri di gang pertama lalu kanan di gang pertama selanjutnya dan kiri kembali di gang pertama lanjutan selanjutnya, rumah ke dua-belas di sebelah kiri itulah rumah yang kumaksud. Setelah berhasil mengumpulkan nyali, aku turun dari mobil dan mendekati pagar yang sudah sedikit ambles akibat tergoncang gempa tahun lalu. Sebelum kuadukan gembok dengan pagar untuk memberikan sinyal akan kehadiranku, oma-nya, yang pernah kubayangkan akan menjadi oma-ku juga, menghampiriku dan menanyakan maksud kehadiranku. Ia masuk ke dalam untuk memastikan ingatannya apakah keberadaan cucunya tersedia untuk menjawab maksud kehadiranku.

Tiga menit kemudian aku sudah melepas sandalku dan terduduk di sofa ruang tamunya. Dua menit kemudian ia datang sambil membawa segelas sirup untukku. Lemahnya nyali menyuruhku untuk segera meneguk nya. Kurasakan perlahan-lahan manisnya sirup itu. Andai semanis ini.

Perhatianku teralihkan - kualihkan - pada sebuah objek berukuran besar yang begitu menarik. Kumanfaatkan rasa ingin tahuku yang tinggi detik itu. Aku perlu pengalihan. Dan kami membicarakan sejenak yearbook kakak perempuannya yang begitu menakjubkan. Extraordinary Book. Demikian judulnya. Cocok untuk menjadi judul hubungan kami. Lebih tepat bila disisipi kata sad tepat di tengahnya.

"Serius ya," kumulai pembicaraan dan kurasakan getaran itu. Aku tahu kami berdua memang sudah menunggu bagian ini. Ya bagaimana tidak, apa lagi yang harus ditunggu saat seorang pria mendatangi seorang perempuan yang sudah didekatinya hampir tiga tahun selain bagian serius yang dapat menunjukkan bagaimana pendekatan ini berakhir. Kuutarakan semuanya yang sebenarnya tidak semua dari apa yang sudah kupersiapkan. Aku terus berbicara menatap Extraordinary Book sambil beberapa kali terdiam mencoba menatap matanya. Setelah aku memutuskan untuk berhenti berbicara, aku memintanya yang berbicara. Akhirnya suasana menjadi hening, ia menarik Extraordinary Book yang terus kutatapi - meski aku sudah selesai menakjubnya - dan menutupnya. Pertanda bahwa waktu kepulanganku telah ditentukan.

Segala emosi muncul menjadi satu, baik bagiku maupun baginya. Perasaan marah, geram, kecewa, sedih, bingung, kesal, tidak terima, menyakiti-tersakiti, semua menjadi satu memunculkan sebuah jenis perasaan baru yang belum pernah berhasil ternamakan.

Namun, ini memang yang harus kulakukan. Hampir sebulan aku merenungkannya dan memang ini keputusanku. Ketidak-inginan sebuah penggantungan hubungan. Keputusan dalam hidup untuk tidak pacaran dulu. Kesadaran bahwa diri masih labil. Keputusan hidup saat ini untuk memprioritaskan 'karir'. Jadi, sekarang belum waktunya. Kapan? Tak seorang pun tahu.

Hubungan kami turun derajat. Namun tetap berderajat. Kami sahabat.