Rabu, 19 April 2017

Negeri Retorika

Berada dalam lingkaran rasional membuat saya buta atas lingkaran yang lebih besar yang ada di Jakarta. Saya dan 33%* teman-teman lainnya yang memilih nomor 2 memang hanyalah sebagian kecil dari 10 juta penduduk Jakarta. Sebagian besar masih termakan oleh retorika** dalam politik dan memilih berdasarkan agama. Bukti kerja dikalahkan retorika. Data dikalahkan cerita. Empat ratus titik rawan banjir yang tidak banjir lagi dikalahkan Bu Nurhayati, sang tukang nasi uduk. 



Beberapa hari sebelum pemilihan, seorang teman saya menanyakan tentang apa yang salah dengan pasangan Anies-Sandi dan mengapa pendukung Ahok seakan-akan mengambing-hitamkan pasangan nomor 3. Saya bingung dengan pertanyaannya, bukankah begitu jelas bobroknya nomor 3 seperti apa? Memanfaatkan isu agama lebih dari yang pernah ada dalam sejarah pemilihan bangsa kita, membodohi publik dengan program DP Rumah Nol Rupiah yang tidak jelas, dan menebar isu-isu pemutar-balik fakta. Semua dijalankan dengan bungkusan retorika yang sempurna. Dan bukankah Ahok justru yang menjadi kambing hitam yang sedang diadili? 

Bekerja di Balai Kota bersama dengan Pak Ahok, saya tertempa untuk peka dengan retorika politik. Setelah mengikuti Pemimpin yang selalu mengedepankan substansi dan kebenaran dibandingkan retorika, mudah sekali bagi saya untuk membedakan isi tulisan ataupun pembicaraan yang sekadar retorika berpotilik. Tanpa pengalaman di Balai Kota mungkin saya akan memilih nomor 2 hanya karena memang ingin memilih pemimpin yang seagama, seras, dan terbukti kinerjanya. Dengan pengalaman di Balai Kota, saya tahu bahwa nomor 3 tidak mampu mengerjakan apa yang nomor 2 mampu kerjakan: melawan korupsi, mengedepankan transparansi, dan mengadministrasikan keadilan sosial. Tiga hal ini tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang hanya mengedepankan kekuasaan. Tidak peduli kalau harus menjilat ludah sendiri atau pun menjilat pantat orang lain. Semua akan dilakukan demi kekuasaan.

Munculnya keinginan untuk bekerja di pemerintahan berawal dari rasa syukur karena saya mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari banyak orang di negara saya. Sejak kecil kebutuhan gizi saya terpenuhi dengan sempurna dan saya bisa mengemban studi di sekolah maupun universitas terbaik. Saya sadar memang hanyalah sebagian kecil yang menikmati keuntungan hidup seperti ini. Dan hanya sebagian kecil lagi orang yang mau mengabdikan keuntungan hidupnya bagi bangsa dan negara.

Pemikiran saya bahwa negara ini membutuhkan lebih banyak orang-orang dengan keuntungan hidup untuk mengabdi mungkin salah. Sebetulnya banyak dari mereka yang mau mengabdi, hanya saja mereka sedang menunggu hingga bangsa ini siap menerimanya. Nyatanya seorang Ahok yang sudah merelakan harta, keluarga, dan harkatnya pun belum bisa diterima sebagian besar masyarakat.

Siapa yang salah ketika Ahok belum berhasil mengubah arah demokrasi negara ini? Banyak yang salah. Tetapi jangan lupakan kehadiran salah seorang yang sadar akan kehebatan lawannya ini hingga jualan agama dan membutakan negara ini dalam retorika politik demi mendapatkan kekuasaan. Buat saya, dia ikut salah. Langkah demokrasi negara ini yang sudah terangkat ke depan, kembali dipijakkan di atas titik awal.

Tidak semua paham bahwa mereka masih dibutakan oleh retorika politik. Tenang, ada Pak Ahok yang sudah mengabdikan dirinya untuk memberikan pembelajaran politik bagi bangsa ini. Kalau saya hanya bisa ikutan menunggu hingga bangsa ini siap, saya tahu Beliau tidak akan berhenti hingga bangsa ini siap.

Sekali lagi kaum teknokrat masih harus menunggu gilirannya. Negara ini masih dibutakan retorika politik.

*33% = 42% dari 78% penduduk DKI yang berpartisipasi dalam pilkada 2017 putaran kedua  
**retorika 1) keterampilan berbahasa secara efektif; 2) studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang; 3) seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis (sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Minggu, 01 Januari 2017

Suara dari Toba

Kali pertama menginjakkan kaki di Tanah Batak setelah tujuh tahun direncanakan akhirnya terwujud. Ide jalan-jalan ke Medan berawal dari obrolan bersama salah seorang teman kami yang asli Medan saat mengantre untuk masuk ke Magnum Cafe yang baru saja soft-opening. Ini masa-masa ketika kafe tersebut pertama kali dibuka. Sekian tahun berselang, teman kami yang asli Medan bahkan sudah menetap di Surabaya, tetapi kami tetap memutuskan untuk berangkat tahun ini. Kalau tidak, penundaannya akan lebih lama lagi. Kami sadar bahwa salah satu natur manusia adalah menunda. Dan sering kali, kita menunda atas apa yang sudah kita tunda sebelumnya, dan begitu seterusnya.

Tiba di Kualanamu (12/2), kami segera meneruskan perjalanan ke Parapat untuk menyeberang dengan kapal feri ke kabupaten TukTuk di Pulau Samosir. Ya, kami bermalam di Samosir. Perjalanannya cukup melelahkan. Hampir 5 jam jalan darat dan 1 jam di kapal feri. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mencicipi roti srikaya Ganda yang legendaris. Saya sendiri baru pertama kali dengar. Tetapi ternyata hampir semua turis akan mengunjungi toko roti di Pematang Siantar tersebut. Setelah dimakan, ternyata tidak selegendaris kedengarannya.


Setelah itu, kami segera ke Parapat untuk mengejar kapal feri kami sebelum hari gelap. Di kapal ini kami bertemu dengan tiga pria asal Spanyol yang bekerja di Singapura. Berawal dari permintaan mereka untuk diambilkan gambar, berlanjut dengan diskusi-diskusi santai seputar Indonesia. 

Tidak terasa kami sudah sampai di seberang. Vila kami merupakan pemberhentian pertama. Salah seorang staf sudah menunggu dengan gerobak tiga roda yang biasa mengangkut semen untuk digunakan sebagai pengangkut koper-koper kami. Menarik.


Setelah tiba di Vila kami disambut oleh pemiliknya, Ibu M dan Mr. BB. Setelah mengetahui kami cakap berbahasa Inggris, Bu M memberikan kesempatan Mr. BB, pria kelahiran Belanda yang sudah lama pensiun dari pekerjaannya di Afrika, untuk menjelaskan fasilitas di vila miliknya.


Selesai menjelaskan, Mr. BB menanyakan rencana perjalanan kami selama di TukTuk. Kami menjelaskan bahwa kami tidak memiliki rencana apa-apa. Tetapi kami tertarik untuk mengelilingi area TukTuk, menikmati pemandangan, dan melihat kebudayaan masyarakat sekitar. Lima menit kemudian, satu becak motor dan dua ojek motor disiapkan secara gratis untuk membawa kami berempat mengitari area TukTuk (entah sebesar apa TukTuk, di tengah perjalanan kami bertemu kembali dengan tiga pria Spanyol tadi sedang berjalan kaki) dan mengunjungi Huta Siallagan yang merupakan salah satu area bersejarah di wilayah TukTuk. Konon, dulunya di tempat tersebut Raja yang memerintah mengurung tawanannya dan melakukan eksekusi. 
 





Setiba di sana, kami dipandu oleh tour guide lokal untuk dijelaskan proses eksekusi tawanan. Prosesnya panjang, dari sang tawanan diberikan waktu untuk didoakan hingga ditelanjangi, dipastikan bebas dari jimat, dipukul dengan tongkat, disayat, dipenggal, dikeluarkan isi perutnya, hingga disajikan darahnya bagi tentara kerajaan. Tragis dan menyeramkan, memang. Lalu kapan ritual ini berakhir? Sang tour guide menjelaskan bahwa kedatangan Pendeta asal Denmark, Ludwig Ingwer Nommensen, yang perlahan-lahan mengubah kultur masyarakat keturunan Batak. Saya kagum dengan keberanian Nommensen karena bisa saja Raja yang tidak suka dengannya mengeluarkan perintah untuk menjatuhkan hukuman eksekusi yang tragis tersebut atas dirinya. Setelah selesai menjelaskan, kami berbincang sebentar dan ia menanyakan asal kami. Lalu kami menjelaskan bahwa kami dari Jakarta. "Oh, pilih nomor dua dong ya?" Sejenak saya mengira maksudnya saat pilpres 2014 kemarin, saya memilih nomor 2. Melihat saya terdiam, ia menambahi, "Pilih Ahok, dong?" Sebagai orang yang bekerja untuk Ahok, saya hanya mampu tertawa saja. 




Hari belum gelap dan kami belum puas dengan hari pertama kami. Saya mencari Bu M dan mengutarakan keinginan kami untuk menikmati senja dengan banana boat. Sepuluh menit kemudian, banana boat kami sudah stand by di dek belakang vila kami. Sambil menunggu pengisian bensin untuk kapal yang menariknya, kami berbincang-bincang dengan beberapa petugas vila. Mereka menanyakan asal daerah kami di Jakarta yang membuat saya bingung. Saya bertanya, "Ibu pernah ke Jakarta?" "Belum." Saya pun akhirnya menjawab, "Oh. Kami dari Jakarta bagian Utara, Bu." Sang Ibu sembari menyirami tanaman pot sekitar vila balik bertanya, "Pilih nomor 2 dong ya?" Saya menanyakan alasan mengapa demikian. Lalu petugas lain menjawab, "Ya, yang sudah kelihatannya kerjanya gitu, Bang."

Danau Toba merupakan tempat impian saya karena mampu memberikan suasana pinggir pantai sekaligus suasana pegunungan. Lebih dari itu, entah bagaimana ceritanya saya bisa berangkat ke Toba, tempat di mana Ahok begitu dicintai atau setidaknya didukung, pada hari yang sama dilakukannya demonstrasi atas Ahok di tempat di mana Ahok telah berhasil menunjukkan kinerja terbaiknya. Mungkin memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa untuk saya menunggu tujuh tahun sebelum akhirnya rencana liburan ke Medan terlaksana. Atas momen liburan ini, saya bisa menemukan motivasi saya kembali di tengah peliknya pekerjaan. Saya yakin apabila masyarakat Toba yang dari jauh saja bisa melihat kinerja Ahok, suatu saat masyarakat Jakarta juga bisa dibukakan matanya dan ingatannya atas perubahan yang terjadi di Jakarta berkat kepemimpinan Ahok.