Kamis, 14 Juli 2011

No Ordinary Story

Kapankah seseorang merasakan getaran pada mulutnya untuk berbicara? Mungkin ketika seseorang mengalami stroke. Mungkin juga ketika seseorang hendak menyatakan sesuatu yang batin tidak ingin mengatakannya. Sesuatu yang berat. Sesuatu yang kalau bisa dipendam saja. Sesuatu yang dapat melukai perasaan pasangan. Sesuatu yang menjelaskan berakhirnya suatu hubungan.


Lima hari, sepuluh jam dan lima-belas menit yang lalu aku tiba di sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagiku. Masuk perumahan, belok kiri di gang pertama lalu kanan di gang pertama selanjutnya dan kiri kembali di gang pertama lanjutan selanjutnya, rumah ke dua-belas di sebelah kiri itulah rumah yang kumaksud. Setelah berhasil mengumpulkan nyali, aku turun dari mobil dan mendekati pagar yang sudah sedikit ambles akibat tergoncang gempa tahun lalu. Sebelum kuadukan gembok dengan pagar untuk memberikan sinyal akan kehadiranku, oma-nya, yang pernah kubayangkan akan menjadi oma-ku juga, menghampiriku dan menanyakan maksud kehadiranku. Ia masuk ke dalam untuk memastikan ingatannya apakah keberadaan cucunya tersedia untuk menjawab maksud kehadiranku.

Tiga menit kemudian aku sudah melepas sandalku dan terduduk di sofa ruang tamunya. Dua menit kemudian ia datang sambil membawa segelas sirup untukku. Lemahnya nyali menyuruhku untuk segera meneguk nya. Kurasakan perlahan-lahan manisnya sirup itu. Andai semanis ini.

Perhatianku teralihkan - kualihkan - pada sebuah objek berukuran besar yang begitu menarik. Kumanfaatkan rasa ingin tahuku yang tinggi detik itu. Aku perlu pengalihan. Dan kami membicarakan sejenak yearbook kakak perempuannya yang begitu menakjubkan. Extraordinary Book. Demikian judulnya. Cocok untuk menjadi judul hubungan kami. Lebih tepat bila disisipi kata sad tepat di tengahnya.

"Serius ya," kumulai pembicaraan dan kurasakan getaran itu. Aku tahu kami berdua memang sudah menunggu bagian ini. Ya bagaimana tidak, apa lagi yang harus ditunggu saat seorang pria mendatangi seorang perempuan yang sudah didekatinya hampir tiga tahun selain bagian serius yang dapat menunjukkan bagaimana pendekatan ini berakhir. Kuutarakan semuanya yang sebenarnya tidak semua dari apa yang sudah kupersiapkan. Aku terus berbicara menatap Extraordinary Book sambil beberapa kali terdiam mencoba menatap matanya. Setelah aku memutuskan untuk berhenti berbicara, aku memintanya yang berbicara. Akhirnya suasana menjadi hening, ia menarik Extraordinary Book yang terus kutatapi - meski aku sudah selesai menakjubnya - dan menutupnya. Pertanda bahwa waktu kepulanganku telah ditentukan.

Segala emosi muncul menjadi satu, baik bagiku maupun baginya. Perasaan marah, geram, kecewa, sedih, bingung, kesal, tidak terima, menyakiti-tersakiti, semua menjadi satu memunculkan sebuah jenis perasaan baru yang belum pernah berhasil ternamakan.

Namun, ini memang yang harus kulakukan. Hampir sebulan aku merenungkannya dan memang ini keputusanku. Ketidak-inginan sebuah penggantungan hubungan. Keputusan dalam hidup untuk tidak pacaran dulu. Kesadaran bahwa diri masih labil. Keputusan hidup saat ini untuk memprioritaskan 'karir'. Jadi, sekarang belum waktunya. Kapan? Tak seorang pun tahu.

Hubungan kami turun derajat. Namun tetap berderajat. Kami sahabat.