Minggu, 20 November 2016

Obrolan Meja Makan

Kurang dari 1000 jam saya berinteraksi dengan Ahok tetapi saya sudah merasakan kedekatan berkat sikapnya yang begitu terbuka dengan siapa saja. Pembicaraan meja makan membuat kami para pekerjanya merasakan kedekatan dengan Beliau. Saya yang awalnya hanya mendengarkan cerita dan lawakannya sampai bosan, akhirnya mampu pula bercerita dan melontarkan lawakan yang membuat Beliau tertawa. Seringkali saya menyepelekan momen meja makan ini, bahkan berusaha menghindari karena tidak sanggup menemaninya ngobrol hingga 2 jam. Sekarang saya sadar betapa berharganya momen meja makan ini. Bukan karena Beliau adalah seorang pejabat sehingga banyak orang yang rela mengeluarkan kocek untuk mendapatkan momen tersebut atau karena saya punya privilege untuk menentukan makanannya, tetapi karena banyaknya pemikiran dan rema Beliau yang disingkapkan kepada kami lewat momen meja makan.

Tidak pernah terbayangkan seorang Ahok bisa menjadi tersangka. Mungkin banyak orang berpikir demikian. Saya pun begitu, awalnya. Namun setelah saya mengingat kembali momen meja makan saya bersama beliau, saya sadar bahwa Ahok menjadi tersangka bukanlah sesuatu yang tidak terbayangkan, melainkan sesuatu yang tidak ingin saya bayangkan. Buat Ahok, penetapan dirinya menjadi tersangka bukanlah hal baru yang belum terbayangkan olehnya. Bukan hanya sekali Beliau bercerita bagaimana ia membayangkan dirinya diadili dan berakhir di penjara. Beliau bahkan berkali-kali membuat saya hanya bisa menunduk dan meletakkan kembali sendok saya karena tertegun mendengarkan perkataan Beliau yang siap mati. Begitu santainya Beliau membicarakan kematian. Bukan karena Beliau merasa hidupnya di dunia ini tidak ada artinya, tetapi karena Beliau sadar bahwa ia sudah berusaha semaksimal mungkin di setiap titik hidupnya untuk memberikan makna bagi orang banyak. Hal ini membuatnya siap menerima ajalnya. 

Meskipun saya tahu sesiap apapun seseorang menerima ajalnya, kegentaran pasti tetap ada saat ajal betul menghampiri. Bagi umat Nasrani, Yesus yang dianggap mereka sebagai Juruselamat pun di malam terakhir sebelum disalib meneteskan keringat darah dan mengajukan permohonan terakhir kepada Sang Allah agar diri-Nya tidak perlu melewati penderitaan yang sudah Ia, bukan hanya prediksi, tetapi ketahui persis. Sesiap apapun Ahok menerima ajalnya atau penetapan dirinya sebagai tersangka, kegentaran tetap ada. Beberapa minggu sebelum penetapan tersangka, raut muka Ahok berubah dan berat badan menurun. Ini bukti kegentaran Ahok, seorang yang hobi makan, yang bisa tertawa lepas bahagia saat makan setelah seharian marah-marah, dan juga sebaliknya, yang bisa marah-marah kalau makanannya tidak enak. Ucapannya, “Jangan pesan lagi!” seringkali membuat saya pusing karena memperpendek daftar restoran yang makanannya bisa dipesan. Tetap saja, saya rela pusing setiap hari dibandingkan saya harus melihat Ahok yang harus gentar setiap hari. Hati saya hancur setiap kali saya menyetir dan melihat kemajuan Jakarta, sebut saja kali yang sekarang begitu bersih ataupun jalan-jalan di sana sini yang terus diaspal. Hati saya hancur karena orang yang memacu kemajuannya ini justru sedang mejadi tersangka kasus dugaan penistaan agama setelah sebelumnya dinyatakan tidak bersalah dalam kasus reklamasi dan Sumber Waras.

Kurang dari 1000 jam saya bersama dengan Ahok dan tiba-tiba Ahok menjadi tersangka. Saya tidak tahu apa lagi yang akan terjadi. Saya tidak tahu lagi bangsa ini akan jadi apa dan maunya apa. Satu alasan kuat saya kembali ke Indonesia setelah kuliah di Amerika Serikat adalah untuk membangun negara ini. Namun setelah apa yang terjadi, muncul kembali bayangan kehidupan saya di luar Indonesia. Saya hanya bisa berdoa agar bangsa ini tidak gentar menerima kemajuan. Saat bangsa ini memilih untuk mundur, saya pun akan mundur dan pergi ke mana saya dan kemajuan yang saya tawarkan dapat diterima.