Kurang dari 1000 jam saya
berinteraksi dengan Ahok tetapi saya sudah merasakan kedekatan berkat sikapnya
yang begitu terbuka dengan siapa saja. Pembicaraan meja makan membuat kami para
pekerjanya merasakan kedekatan dengan Beliau. Saya yang awalnya hanya mendengarkan
cerita dan lawakannya sampai bosan, akhirnya mampu pula bercerita dan
melontarkan lawakan yang membuat Beliau tertawa. Seringkali saya menyepelekan
momen meja makan ini, bahkan berusaha menghindari karena tidak sanggup
menemaninya ngobrol hingga 2 jam. Sekarang saya sadar
betapa berharganya momen meja makan ini. Bukan karena Beliau adalah seorang
pejabat sehingga banyak orang yang rela mengeluarkan kocek untuk mendapatkan
momen tersebut atau karena saya punya privilege untuk menentukan makanannya, tetapi
karena banyaknya pemikiran dan rema Beliau yang disingkapkan kepada kami lewat
momen meja makan.
Tidak pernah terbayangkan seorang
Ahok bisa menjadi tersangka. Mungkin banyak orang berpikir demikian. Saya pun
begitu, awalnya. Namun setelah saya mengingat kembali momen meja makan saya
bersama beliau, saya sadar bahwa Ahok menjadi tersangka bukanlah sesuatu yang
tidak terbayangkan, melainkan sesuatu yang tidak ingin saya bayangkan. Buat
Ahok, penetapan dirinya menjadi tersangka bukanlah hal baru yang belum
terbayangkan olehnya. Bukan hanya sekali Beliau bercerita bagaimana ia
membayangkan dirinya diadili dan berakhir di penjara. Beliau bahkan
berkali-kali membuat saya hanya bisa menunduk dan meletakkan kembali sendok
saya karena tertegun mendengarkan perkataan Beliau yang siap mati. Begitu
santainya Beliau membicarakan kematian. Bukan karena Beliau merasa hidupnya di
dunia ini tidak ada artinya, tetapi karena Beliau sadar bahwa ia sudah berusaha
semaksimal mungkin di setiap titik hidupnya untuk memberikan makna bagi orang
banyak. Hal ini membuatnya siap menerima ajalnya.
Meskipun saya tahu sesiap apapun
seseorang menerima ajalnya, kegentaran pasti tetap ada saat ajal betul
menghampiri. Bagi umat Nasrani, Yesus yang dianggap mereka sebagai Juruselamat
pun di malam terakhir sebelum disalib meneteskan keringat darah dan mengajukan
permohonan terakhir kepada Sang Allah agar diri-Nya tidak perlu melewati
penderitaan yang sudah Ia, bukan hanya prediksi, tetapi ketahui persis. Sesiap
apapun Ahok menerima ajalnya atau penetapan dirinya sebagai tersangka,
kegentaran tetap ada. Beberapa minggu sebelum penetapan tersangka, raut muka
Ahok berubah dan berat badan menurun. Ini bukti kegentaran Ahok, seorang yang
hobi makan, yang bisa tertawa lepas bahagia saat makan setelah seharian
marah-marah, dan juga sebaliknya, yang bisa marah-marah kalau makanannya tidak
enak. Ucapannya, “Jangan pesan lagi!” seringkali membuat saya pusing karena
memperpendek daftar restoran yang makanannya bisa dipesan. Tetap saja, saya
rela pusing setiap hari dibandingkan saya harus melihat Ahok yang harus gentar
setiap hari. Hati saya hancur setiap kali saya menyetir dan melihat kemajuan
Jakarta, sebut saja kali yang sekarang begitu bersih ataupun jalan-jalan di
sana sini yang terus diaspal. Hati saya hancur karena orang yang memacu
kemajuannya ini justru sedang mejadi tersangka kasus dugaan penistaan agama
setelah sebelumnya dinyatakan tidak bersalah dalam kasus reklamasi dan Sumber
Waras.
Kurang dari 1000 jam saya bersama
dengan Ahok dan tiba-tiba Ahok menjadi tersangka. Saya tidak tahu apa lagi yang
akan terjadi. Saya tidak tahu lagi bangsa ini akan jadi apa dan maunya apa.
Satu alasan kuat saya kembali ke Indonesia setelah kuliah di Amerika Serikat
adalah untuk membangun negara ini. Namun setelah apa yang terjadi, muncul
kembali bayangan kehidupan saya di luar Indonesia. Saya hanya bisa berdoa agar
bangsa ini tidak gentar menerima kemajuan. Saat bangsa ini memilih untuk
mundur, saya pun akan mundur dan pergi ke mana saya dan kemajuan yang saya
tawarkan dapat diterima.