Minggu, 01 Januari 2017

Suara dari Toba

Kali pertama menginjakkan kaki di Tanah Batak setelah tujuh tahun direncanakan akhirnya terwujud. Ide jalan-jalan ke Medan berawal dari obrolan bersama salah seorang teman kami yang asli Medan saat mengantre untuk masuk ke Magnum Cafe yang baru saja soft-opening. Ini masa-masa ketika kafe tersebut pertama kali dibuka. Sekian tahun berselang, teman kami yang asli Medan bahkan sudah menetap di Surabaya, tetapi kami tetap memutuskan untuk berangkat tahun ini. Kalau tidak, penundaannya akan lebih lama lagi. Kami sadar bahwa salah satu natur manusia adalah menunda. Dan sering kali, kita menunda atas apa yang sudah kita tunda sebelumnya, dan begitu seterusnya.

Tiba di Kualanamu (12/2), kami segera meneruskan perjalanan ke Parapat untuk menyeberang dengan kapal feri ke kabupaten TukTuk di Pulau Samosir. Ya, kami bermalam di Samosir. Perjalanannya cukup melelahkan. Hampir 5 jam jalan darat dan 1 jam di kapal feri. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mencicipi roti srikaya Ganda yang legendaris. Saya sendiri baru pertama kali dengar. Tetapi ternyata hampir semua turis akan mengunjungi toko roti di Pematang Siantar tersebut. Setelah dimakan, ternyata tidak selegendaris kedengarannya.


Setelah itu, kami segera ke Parapat untuk mengejar kapal feri kami sebelum hari gelap. Di kapal ini kami bertemu dengan tiga pria asal Spanyol yang bekerja di Singapura. Berawal dari permintaan mereka untuk diambilkan gambar, berlanjut dengan diskusi-diskusi santai seputar Indonesia. 

Tidak terasa kami sudah sampai di seberang. Vila kami merupakan pemberhentian pertama. Salah seorang staf sudah menunggu dengan gerobak tiga roda yang biasa mengangkut semen untuk digunakan sebagai pengangkut koper-koper kami. Menarik.


Setelah tiba di Vila kami disambut oleh pemiliknya, Ibu M dan Mr. BB. Setelah mengetahui kami cakap berbahasa Inggris, Bu M memberikan kesempatan Mr. BB, pria kelahiran Belanda yang sudah lama pensiun dari pekerjaannya di Afrika, untuk menjelaskan fasilitas di vila miliknya.


Selesai menjelaskan, Mr. BB menanyakan rencana perjalanan kami selama di TukTuk. Kami menjelaskan bahwa kami tidak memiliki rencana apa-apa. Tetapi kami tertarik untuk mengelilingi area TukTuk, menikmati pemandangan, dan melihat kebudayaan masyarakat sekitar. Lima menit kemudian, satu becak motor dan dua ojek motor disiapkan secara gratis untuk membawa kami berempat mengitari area TukTuk (entah sebesar apa TukTuk, di tengah perjalanan kami bertemu kembali dengan tiga pria Spanyol tadi sedang berjalan kaki) dan mengunjungi Huta Siallagan yang merupakan salah satu area bersejarah di wilayah TukTuk. Konon, dulunya di tempat tersebut Raja yang memerintah mengurung tawanannya dan melakukan eksekusi. 
 





Setiba di sana, kami dipandu oleh tour guide lokal untuk dijelaskan proses eksekusi tawanan. Prosesnya panjang, dari sang tawanan diberikan waktu untuk didoakan hingga ditelanjangi, dipastikan bebas dari jimat, dipukul dengan tongkat, disayat, dipenggal, dikeluarkan isi perutnya, hingga disajikan darahnya bagi tentara kerajaan. Tragis dan menyeramkan, memang. Lalu kapan ritual ini berakhir? Sang tour guide menjelaskan bahwa kedatangan Pendeta asal Denmark, Ludwig Ingwer Nommensen, yang perlahan-lahan mengubah kultur masyarakat keturunan Batak. Saya kagum dengan keberanian Nommensen karena bisa saja Raja yang tidak suka dengannya mengeluarkan perintah untuk menjatuhkan hukuman eksekusi yang tragis tersebut atas dirinya. Setelah selesai menjelaskan, kami berbincang sebentar dan ia menanyakan asal kami. Lalu kami menjelaskan bahwa kami dari Jakarta. "Oh, pilih nomor dua dong ya?" Sejenak saya mengira maksudnya saat pilpres 2014 kemarin, saya memilih nomor 2. Melihat saya terdiam, ia menambahi, "Pilih Ahok, dong?" Sebagai orang yang bekerja untuk Ahok, saya hanya mampu tertawa saja. 




Hari belum gelap dan kami belum puas dengan hari pertama kami. Saya mencari Bu M dan mengutarakan keinginan kami untuk menikmati senja dengan banana boat. Sepuluh menit kemudian, banana boat kami sudah stand by di dek belakang vila kami. Sambil menunggu pengisian bensin untuk kapal yang menariknya, kami berbincang-bincang dengan beberapa petugas vila. Mereka menanyakan asal daerah kami di Jakarta yang membuat saya bingung. Saya bertanya, "Ibu pernah ke Jakarta?" "Belum." Saya pun akhirnya menjawab, "Oh. Kami dari Jakarta bagian Utara, Bu." Sang Ibu sembari menyirami tanaman pot sekitar vila balik bertanya, "Pilih nomor 2 dong ya?" Saya menanyakan alasan mengapa demikian. Lalu petugas lain menjawab, "Ya, yang sudah kelihatannya kerjanya gitu, Bang."

Danau Toba merupakan tempat impian saya karena mampu memberikan suasana pinggir pantai sekaligus suasana pegunungan. Lebih dari itu, entah bagaimana ceritanya saya bisa berangkat ke Toba, tempat di mana Ahok begitu dicintai atau setidaknya didukung, pada hari yang sama dilakukannya demonstrasi atas Ahok di tempat di mana Ahok telah berhasil menunjukkan kinerja terbaiknya. Mungkin memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa untuk saya menunggu tujuh tahun sebelum akhirnya rencana liburan ke Medan terlaksana. Atas momen liburan ini, saya bisa menemukan motivasi saya kembali di tengah peliknya pekerjaan. Saya yakin apabila masyarakat Toba yang dari jauh saja bisa melihat kinerja Ahok, suatu saat masyarakat Jakarta juga bisa dibukakan matanya dan ingatannya atas perubahan yang terjadi di Jakarta berkat kepemimpinan Ahok.