Sabtu, 31 Desember 2016

Ekspektasi Jauh dari Realitas

God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, courage to change the things I can, and wisdom to know the difference. -- Reinhold Niebuhr 


Tahun 2016 menjadi tahun pertama saya secara resmi menjalani hidup dengan menyandang gelar sarjana dari Universitas Negeri nomor 1 di dunia (menurut U.S. News) – University of California, Berkeley. Satu kata yang bisa menggambarkan kehidupan saya setahun ini: frustrasi.Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa banyak hal, bahkan terlalu banyak hal, yang salah dan tak dapat diubah. Akibatnya, sulit bagi saya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang-orang yang dengan mudahnya berbuat salah dan tidak belajar dari kesalahannya. Alih-alih menjadi seorang pemimpin yang baik, saya pun menjadi seorang yang dingin, arogan, dan keras. Alhasil, saya frustrasi atas hidup ini, atas manusia, dan atas dunia.

Dua minggu setelah melemparkan toga, tidak menunggu lama, saya segera kembali ke Jakarta dan mulai bekerja di Balai Kota Jakarta. Yang lebih banyak digambarkan oleh supir Uber dengan: “Oh… Kantornya Pak Ahok ya, Pak.”

Bekerja bersama dengan Pak Gubernur Ahok di Balai Kota membuat saya terus terpacu untuk mewujudkan perubahan atas kota Jakarta agar lebih baik. Ini menjadi tekad kami semua yang bekerja di sana. Semangat perubahan yang kami bawa, sayangnya, seringkali membuat kami hidup dalam sebuah lingkaran idealisme yang menyatukan kami semua namun melupakan realitas yang sesungguhnya. Ada sebuah harapan ketika kami bertemu dengan tujuh-belas orang lainnya yang rela meninggalkan kepentingan dan kebutuhannya untuk membangun Jakarta.

Mungkin banyak orang berpikir hal yang paling membanggakan atas pekerjaan kami di Balai Kota adalah bertemu dengan Sang Gubernur setiap hari. Awalnya, saya pun sempat berpikir demikian. Sayangnya bukan itu kebanggaan terbesar saya. Setelah satu tahun bekerja, saya merasakan kebanggaan luar biasa ketika berhasil membuat kemajuan untuk proyek kartu multifungsi Jakarta One yang nantinya dapat menyaingi kartu Nets milik Singapura ataupun ketika bertemu dengan banyak ibu yang dengan senyuman lebar membawa kantong berisi daging seharga Rp 35.000,00 saat melakukan monitoring penjualan daging subsidi yang sukses terjual 108 ton dalam waktu 1 bulan. Singkatnya, kami bangga ketika kami berhasil membawa perubahan untuk Jakarta. Akan mudah untuk kecewa bila seorang sosok yang dibanggakan karena manusia tidak lepas dari kekurangan. 

Bekerja untuk Pak Gubernur, banyak hal yang tidak terjamin, khususnya karier kami. Tim kami dapat dengan mudah hilang begitu saja apalagi dengan proses kriminalisasi terhadap Ahok saat ini. Keselarasan tujuan merupakan satu-satunya jaminan yang kami dapatkan dari Pak Gubernur. Kami tak merasakan sebegitu berharganya jaminan ini hingga kami  bekerja membangun Jakarta bersama dengan Gubernur lain. Kami tidak pernah sekalipun takut atas ide-ide yang Pak Gubernur dulu sampaikan karena kami tahu persis tujuannya adalah membangun Jakarta yang lebih baik dan manusiawi. Dengan tujuan ini jugalah, Pak Gubernur berani mati-matian melawan DPRD hingga menuliskan, “Pemahaman Nenek Lo!” dalam Rancangan APBD 2015. 

Kami melihat sendiri bagaimana proses siluman terjadi untuk APBD 2017. Sebelum ayam berkokok, tetiba saja APBD 2017 sudah disahkan antara eksekutif dan legislatif dengan susupan anggaran, seperti alat kebersihan untuk DPRD, pembangunan kolam ikan senilai 500 juta, dan masih banyak lagi. Saya yang menangani Badan Usaha Milik Daerah akhirnya menyaksikan sendiri pula bagaimana BUMD-BUMD dipaksa untuk membiayai panggung dan artis untuk hiburan rakyat akhir tahun. Padahal BUMD-BUMD ini masih banyak yang terikat utang, mengalami kerugian, ataupun kurang pendanaan untuk proyek-proyek penugasannya. Salah satu BUMD diketahui diminta untuk membiayai panggung berukuran 10x12 meter lengkap dengan sound system, lighting, MC, dan artis dengan total biaya sebesar 156 juta rupiah.
  



Saya frustrasi berada pada kondisi tak berdaya. APBD yang acak kadut hingga BUMD yang diperas, sekarang semua di luar kendali kami. Saya frustrasi bertemu dengan banyak orang yang menduduki posisi penting namun tingkah laku dan pola pikirnya jauh di bawah standar. Entah standar saya sebagai lulusan Berkeley yang terlalu tinggi atau negara ini yang memang sudah terbiasa dengan miskinnya standardisasi. Saya frustrasi terhadap Kepala Biro yang hanya tahunya membuat regulasi tanpa tahu substansi dan tujuannya. Saya bahkan frustrasi hanya dengan pengemudi yang berhenti saat lampu berwarna hijau, yang berkendara melawan arah, apalagi berkendara di tengah garis lajur. 

Di penghujung tahun 2016 ini, saya teringat kembali sambutan Menteri Tenaga Kerja Amerika Serikat ke-22, Robert Reich, pada acara wisuda setahun lalu. Ada tiga hal yang Beliau sampaikan waktu itu.  Pertama, selalu tunjukkan rasa hormat terhadap orang lain yang tidak mempunyai status atau latar belakang pendidikan seperti yang saya miliki. Kedua, kepemimpinan adalah seni dan latihan untuk membuat orang-orang di sekitar saya memiliki fokus terhadap permasalahan yang sebelumnya dianggap tidak penting. Ketiga, sadari perbedaan antara berdeterminasi dengan bunuh diri. Artinya, perubahan terkadang tidaklah mudah. Kita harus bisa menerima apa yang belum bisa diubah. Setidaknya berusahalah menerimanya untuk saat ini sambil terus mengupayakan perubahan terhadap hal-hal yang tidak bisa kita terima tersebut.


Mudah-mudahan cukup tahun 2016 saja yang diwarnai dengan rasa frustrasi dan kekerasan. Di negara berkembang seperti Indonesia, ekspektasi dan realitas memang jarang sekali bertemu. Keterbatasan sumber daya manusia akibat korupsi berkepanjangan seringkali mengikhlaskan setiap kesalahan ataupun ketidak-berhasilan dalam mencapai ekspektasi. Masyarakat terlatih untuk berekspektasi serendah mungkin sebut saja ketika  mereka menerima pelayanan di restoran, mengurus surat di kelurahan, berobat ke rumah sakit, hingga ketika mereka harus membangun bahtera rumah tangga. Kuncinya, saya perlu bersabar dan menerima apa yang harus saya terima saat ini sambil perlahan-lahan mengubah apa yang bisa saya ubah.

Minggu, 20 November 2016

Obrolan Meja Makan

Kurang dari 1000 jam saya berinteraksi dengan Ahok tetapi saya sudah merasakan kedekatan berkat sikapnya yang begitu terbuka dengan siapa saja. Pembicaraan meja makan membuat kami para pekerjanya merasakan kedekatan dengan Beliau. Saya yang awalnya hanya mendengarkan cerita dan lawakannya sampai bosan, akhirnya mampu pula bercerita dan melontarkan lawakan yang membuat Beliau tertawa. Seringkali saya menyepelekan momen meja makan ini, bahkan berusaha menghindari karena tidak sanggup menemaninya ngobrol hingga 2 jam. Sekarang saya sadar betapa berharganya momen meja makan ini. Bukan karena Beliau adalah seorang pejabat sehingga banyak orang yang rela mengeluarkan kocek untuk mendapatkan momen tersebut atau karena saya punya privilege untuk menentukan makanannya, tetapi karena banyaknya pemikiran dan rema Beliau yang disingkapkan kepada kami lewat momen meja makan.

Tidak pernah terbayangkan seorang Ahok bisa menjadi tersangka. Mungkin banyak orang berpikir demikian. Saya pun begitu, awalnya. Namun setelah saya mengingat kembali momen meja makan saya bersama beliau, saya sadar bahwa Ahok menjadi tersangka bukanlah sesuatu yang tidak terbayangkan, melainkan sesuatu yang tidak ingin saya bayangkan. Buat Ahok, penetapan dirinya menjadi tersangka bukanlah hal baru yang belum terbayangkan olehnya. Bukan hanya sekali Beliau bercerita bagaimana ia membayangkan dirinya diadili dan berakhir di penjara. Beliau bahkan berkali-kali membuat saya hanya bisa menunduk dan meletakkan kembali sendok saya karena tertegun mendengarkan perkataan Beliau yang siap mati. Begitu santainya Beliau membicarakan kematian. Bukan karena Beliau merasa hidupnya di dunia ini tidak ada artinya, tetapi karena Beliau sadar bahwa ia sudah berusaha semaksimal mungkin di setiap titik hidupnya untuk memberikan makna bagi orang banyak. Hal ini membuatnya siap menerima ajalnya. 

Meskipun saya tahu sesiap apapun seseorang menerima ajalnya, kegentaran pasti tetap ada saat ajal betul menghampiri. Bagi umat Nasrani, Yesus yang dianggap mereka sebagai Juruselamat pun di malam terakhir sebelum disalib meneteskan keringat darah dan mengajukan permohonan terakhir kepada Sang Allah agar diri-Nya tidak perlu melewati penderitaan yang sudah Ia, bukan hanya prediksi, tetapi ketahui persis. Sesiap apapun Ahok menerima ajalnya atau penetapan dirinya sebagai tersangka, kegentaran tetap ada. Beberapa minggu sebelum penetapan tersangka, raut muka Ahok berubah dan berat badan menurun. Ini bukti kegentaran Ahok, seorang yang hobi makan, yang bisa tertawa lepas bahagia saat makan setelah seharian marah-marah, dan juga sebaliknya, yang bisa marah-marah kalau makanannya tidak enak. Ucapannya, “Jangan pesan lagi!” seringkali membuat saya pusing karena memperpendek daftar restoran yang makanannya bisa dipesan. Tetap saja, saya rela pusing setiap hari dibandingkan saya harus melihat Ahok yang harus gentar setiap hari. Hati saya hancur setiap kali saya menyetir dan melihat kemajuan Jakarta, sebut saja kali yang sekarang begitu bersih ataupun jalan-jalan di sana sini yang terus diaspal. Hati saya hancur karena orang yang memacu kemajuannya ini justru sedang mejadi tersangka kasus dugaan penistaan agama setelah sebelumnya dinyatakan tidak bersalah dalam kasus reklamasi dan Sumber Waras.

Kurang dari 1000 jam saya bersama dengan Ahok dan tiba-tiba Ahok menjadi tersangka. Saya tidak tahu apa lagi yang akan terjadi. Saya tidak tahu lagi bangsa ini akan jadi apa dan maunya apa. Satu alasan kuat saya kembali ke Indonesia setelah kuliah di Amerika Serikat adalah untuk membangun negara ini. Namun setelah apa yang terjadi, muncul kembali bayangan kehidupan saya di luar Indonesia. Saya hanya bisa berdoa agar bangsa ini tidak gentar menerima kemajuan. Saat bangsa ini memilih untuk mundur, saya pun akan mundur dan pergi ke mana saya dan kemajuan yang saya tawarkan dapat diterima.