Tahun 2016 menjadi tahun pertama saya secara resmi menjalani hidup dengan menyandang gelar sarjana dari Universitas Negeri nomor 1 di dunia (menurut U.S. News) – University of California, Berkeley. Satu kata yang bisa menggambarkan kehidupan saya setahun ini: frustrasi.Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa banyak hal, bahkan terlalu banyak hal, yang salah dan tak dapat diubah. Akibatnya, sulit bagi saya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang-orang yang dengan mudahnya berbuat salah dan tidak belajar dari kesalahannya. Alih-alih menjadi seorang pemimpin yang baik, saya pun menjadi seorang yang dingin, arogan, dan keras. Alhasil, saya frustrasi atas hidup ini, atas manusia, dan atas dunia.
Dua minggu setelah
melemparkan toga, tidak menunggu lama, saya segera kembali ke Jakarta dan mulai
bekerja di Balai Kota Jakarta. Yang lebih banyak digambarkan oleh supir Uber
dengan: “Oh… Kantornya Pak Ahok ya, Pak.”
Bekerja bersama dengan Pak
Gubernur Ahok di Balai Kota membuat saya terus terpacu untuk mewujudkan
perubahan atas kota Jakarta agar lebih baik. Ini menjadi tekad kami semua yang
bekerja di sana. Semangat perubahan yang kami bawa, sayangnya, seringkali
membuat kami hidup dalam sebuah lingkaran idealisme yang menyatukan kami semua
namun melupakan realitas yang sesungguhnya. Ada sebuah harapan ketika kami
bertemu dengan tujuh-belas orang lainnya yang rela meninggalkan kepentingan dan
kebutuhannya untuk membangun Jakarta.
Mungkin banyak orang berpikir
hal yang paling membanggakan atas pekerjaan kami di Balai Kota adalah bertemu
dengan Sang Gubernur setiap hari. Awalnya, saya pun sempat berpikir demikian.
Sayangnya bukan itu kebanggaan terbesar saya. Setelah satu tahun bekerja, saya
merasakan kebanggaan luar biasa ketika berhasil membuat kemajuan untuk proyek
kartu multifungsi Jakarta One yang nantinya dapat menyaingi kartu Nets milik
Singapura ataupun ketika bertemu dengan banyak ibu yang dengan senyuman lebar
membawa kantong berisi daging seharga Rp 35.000,00 saat melakukan monitoring
penjualan daging subsidi yang sukses terjual 108 ton dalam waktu 1 bulan. Singkatnya, kami bangga ketika kami berhasil membawa perubahan untuk Jakarta. Akan
mudah untuk kecewa bila seorang sosok yang dibanggakan karena manusia tidak
lepas dari kekurangan.
Kami melihat sendiri bagaimana proses siluman terjadi untuk APBD 2017. Sebelum ayam berkokok, tetiba saja APBD 2017 sudah disahkan antara eksekutif dan legislatif dengan susupan anggaran, seperti alat kebersihan untuk DPRD, pembangunan kolam ikan senilai 500 juta, dan masih banyak lagi. Saya yang menangani Badan Usaha Milik Daerah akhirnya menyaksikan sendiri pula bagaimana BUMD-BUMD dipaksa untuk membiayai panggung dan artis untuk hiburan rakyat akhir tahun. Padahal BUMD-BUMD ini masih banyak yang terikat utang, mengalami kerugian, ataupun kurang pendanaan untuk proyek-proyek penugasannya. Salah satu BUMD diketahui diminta untuk membiayai panggung berukuran 10x12 meter lengkap dengan sound system, lighting, MC, dan artis dengan total biaya sebesar 156 juta rupiah.
Saya frustrasi berada pada kondisi tak berdaya. APBD yang acak kadut hingga BUMD yang diperas, sekarang semua di luar kendali kami. Saya frustrasi bertemu dengan banyak orang yang menduduki posisi penting namun tingkah laku dan pola pikirnya jauh di bawah standar. Entah standar saya sebagai lulusan Berkeley yang terlalu tinggi atau negara ini yang memang sudah terbiasa dengan miskinnya standardisasi. Saya frustrasi terhadap Kepala Biro yang hanya tahunya membuat regulasi tanpa tahu substansi dan tujuannya. Saya bahkan frustrasi hanya dengan pengemudi yang berhenti saat lampu berwarna hijau, yang berkendara melawan arah, apalagi berkendara di tengah garis lajur.
Di penghujung tahun 2016 ini, saya teringat kembali sambutan Menteri Tenaga Kerja Amerika Serikat ke-22, Robert Reich, pada acara wisuda setahun lalu. Ada tiga hal yang Beliau sampaikan waktu itu. Pertama, selalu tunjukkan rasa hormat terhadap orang lain yang tidak mempunyai status atau latar belakang pendidikan seperti yang saya miliki. Kedua, kepemimpinan adalah seni dan latihan untuk membuat orang-orang di sekitar saya memiliki fokus terhadap permasalahan yang sebelumnya dianggap tidak penting. Ketiga, sadari perbedaan antara berdeterminasi dengan bunuh diri. Artinya, perubahan terkadang tidaklah mudah. Kita harus bisa menerima apa yang belum bisa diubah. Setidaknya berusahalah menerimanya untuk saat ini sambil terus mengupayakan perubahan terhadap hal-hal yang tidak bisa kita terima tersebut.
Di penghujung tahun 2016 ini, saya teringat kembali sambutan Menteri Tenaga Kerja Amerika Serikat ke-22, Robert Reich, pada acara wisuda setahun lalu. Ada tiga hal yang Beliau sampaikan waktu itu. Pertama, selalu tunjukkan rasa hormat terhadap orang lain yang tidak mempunyai status atau latar belakang pendidikan seperti yang saya miliki. Kedua, kepemimpinan adalah seni dan latihan untuk membuat orang-orang di sekitar saya memiliki fokus terhadap permasalahan yang sebelumnya dianggap tidak penting. Ketiga, sadari perbedaan antara berdeterminasi dengan bunuh diri. Artinya, perubahan terkadang tidaklah mudah. Kita harus bisa menerima apa yang belum bisa diubah. Setidaknya berusahalah menerimanya untuk saat ini sambil terus mengupayakan perubahan terhadap hal-hal yang tidak bisa kita terima tersebut.
Mudah-mudahan cukup tahun 2016 saja yang diwarnai dengan rasa frustrasi dan kekerasan. Di negara berkembang seperti Indonesia, ekspektasi dan realitas memang jarang sekali bertemu. Keterbatasan sumber daya manusia akibat korupsi berkepanjangan seringkali mengikhlaskan setiap kesalahan ataupun ketidak-berhasilan dalam mencapai ekspektasi. Masyarakat terlatih untuk berekspektasi serendah mungkin sebut saja ketika mereka menerima pelayanan di restoran, mengurus surat di kelurahan, berobat ke rumah sakit, hingga ketika mereka harus membangun bahtera rumah tangga. Kuncinya, saya perlu bersabar dan menerima apa yang harus saya terima saat ini sambil perlahan-lahan mengubah apa yang bisa saya ubah.